Minggu, 18 Mei 2008

SCHIZOPHRENIA

SCHIZOPHRENIA SEBAGAI KULTUS[1]

Oleh Hafiz Ibnuzzaman

Hakikat ajaran yang kita kenal sebagai Kristianisme adalah anti-jasmani, memusuhi daging sebagai pemberian tuhan. Di dalamnya wadat merupakan suatu cita-cita menyempurnakan diri. Paulus yang meletakkan arah pemikiran Kristen dan menentukan arah pemikiran Kristen memberi teori dan praktis perwadatan.

Adalah pembawaan insani bahwa sesuatu yang alamiah, tetapi ditekan akan memukul balik berupa pantulan yang keras. Sikap yang menganggap seks sebagai dosa turuana karena kelengahan Adam terhadap godaan Eva dan kelemahan keduanya terhadap bujukan iblis, memantul berupa kejangakan alias pengumbaran seks. Seks tak disadari sebagai suatu kodrat insani, melainkan suatu dosa yang bersumber pada iblis. Melakukan suatu perbuatan yang disadari sebagai suatu dosa pasti menimbulkan kemunafikan. Hubungan suami istri dirasakan sebagai suatu ambivalensi.

Lalu lahirlah dualisme jasmani dan rohani, awam dan rahib, duniawi dan ukhrawi (akhirat), Negara dan gereja, dan seterusnya. Calvinisme melahirkan dua macam ukuran akhlak. Antaran keshihan di gereja dan kecurangan yang dipaksakan oleh praktik perdagangan terdapat suatu antipoda. Ilmu berontak terhadap pengekangan dan pengebirian oleh gereja. Lahirlah kontradiksi antagonistic antara ilmu dan gereja. Lalu kaum awam berontak terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum klerikal. Pemisihan Negara dan gereja diproklamirkan oleh revolusi perancis pada tahun 1889.

Seluruh kebudayaan barat yang berlandaskan paduan filsafat sekulerisme materialistic Yunani-Romawi dan kristianisme yang membelakangi dunia mempunyai watak dualistic. Tubuh wanita dianggap sumber dosa, tapi dieksploitasikan dalam promosi barang mulai dari rokok sampai mobil. Orang dituntut supaya alim, tapi dirangsang dengan gambar wanita telanjang atau 7 per 8 telanjang, alcohol, obat bius dan obat perangsang seks supaya menerjuni gelimangan dosa.

Teknologi tidak diabdikan kepada manusia, melainkan sebaliknya. Sampai-sampai produktivitas dan efisiensi kerja pun mengakibatkan penghematan tenaga manusia dan timbulnya pengangguran masal. Overproduksi, pengangguran massal dan semakin miskinnya penduduk melahirkan kesulitan pemasaran. Dualisme sebaliknya dari dipecahkan cenderung makin menggila.

Untuk memenuhi hajat hidupnya manusia melepaskan ukuran-ukuran kejujuran yang dahulu dijunjung tinggi. Sebagian para ibu rumah tangga menjadi wanita panggilan tanpa gugatan hati nurani lagi, karena jabatan itu menjadi jalan keluar yang mudah bagi kesulitan ekonomi. Keperawanan bukanlah suatu yang suci lagi. Profanasi rasionalitas dan logisitas menggantikan sentimen-sentimen tentang kesucian dan kehormatan.

Produksi industri bukan mengabdi keperluan, melainkan sebaliknya keperluan wajib diciptakan melalui sugessti massal berupa promosi yang menerapkan psikologi modern. Menciptakan tuntutan pasar bagi barang-barang yang objektif tak diperlukan adalah suatu pencapaian yang harus dibayar tinggi. Kosmetik yang membuat kulit mengeriput dan makin peot dipromosikan denganmemakai sarana wanita-wanita yang dipercantik dengan operasi plastik. Demikianlah konsomerisme membuai kaum menengah para calon pembeli di dalam ilusi sebuah dunia yang hampa. Kebahagiaan sia-sia dicari di tengah kehampaan itu.

Dengan pola konsumsi tinggi itu pastilah penghasilan kebanyakan orang tak sesuai lagi dengan pengeluaran lalu timbul jurang (discrepancy) antara penghasilan dan pengeluaran. Di dalam masyarakat barat yang teratur dengan publik yang tahu apa hak-haknya, pungli sukar, korupsi tak lolos dari pembalasan hukum. (lain dengan di negeri-negeri sedang berkembang di mana kekuasaan merupakan karcis prodeo untuk melakukan korupsi).

Demikianlah manusia di dalam liberalisme persaingan bebas hanya dilihat sebagai objek belaka untuk dijejali konsumsi barang dan jasa. Tiap manusia adalah calon pembeli yang potensial yang dapat dijadikan pembeli aktual melalui pengibulan massal televisi, radio, film promosi, iklan, poster, dan papan reklame. Batu batere’ dan accu televisi dan radio untuk pengibulan massal dibayar oleh mereka yang akan dikibuli. Inilah bentuk perampokan oleh perusahaan-perusahaan asing/multi nasional yang aman terhadap tuntutan hukum.

Tragedi negeri-negeri bekas jajahan adalah bahwa lama setelah penjajahan politik berakhir, rasa rendah diri masih tertanam dalam-dalam. Impian hidup para pemimpin’ adalah bagaimana menempati gedung-gedung besar yang dahulu didiami si penjajah. Bagaiman meniru bagaikan monyet gaya hidup mereka atau bahkan melebihinya.jika kaum penjajah dahulu sesuai dengan iklim, memakai katun atau lenin, maka bekas terjajah justru memakai wol tebal. Jika dahulu pembesar-pembesar penjajah naik trem atau sepeda, para penggantinya sekarang naik kendaraan pribadi. Identifikasi atau penyatu-samaan kayak monyek ini dijuluki mempertahankan martabat atau menjaga gengsi. Padahal dengan demikian golongan benalu yang dahulu terdiri dari minoritas rasial asing sekarang ini diubah menjadi mayoritas rasial pribumi (yang adalah minoritas sosial), tapi bilanganya jauh lebih besar. Di Hindia-Belanda dahulu benalu itu terdiri dari 200.000 orang belanda totok ditambah 100.000 inlanders berkedudukan tinggi. Rakyat indonesia sekaran ini terpaksa memberi makan kepada lebih sejuta orang benalu. Perbandingan beban sosial ekonomi yang mesti ditanggung oleh bangsa indonesia setelah tercapainya kemerdekaan tercapainya kemerdekaan menjadi lima kali lipat.

Gaya hidup bakda-kolonial ini melahirkan tekanan darah tinggi, kontras sosial yang makin tajam, kepribadian yang terbelah (split personality), bahkan jiwa yang terbelah alias schzophhrenia. Pasien-pasien rumah masyarakat sakit ini mewakili dr. Jekyll dan mr. Hyde dari novelet R. L. Stevenson (1850-1894), yang masing-masing mewakili kebajikan dan kedurjanaan. Dan alangkah sayang bahwa kita sedang terus mempromosikan, bahkan mengkultuskan schizophrenia itu kepada bangsa kita tercinta.



[1] Panji masyarakat, no. 312 20 Januari 1981 tahun XXII

Tidak ada komentar: